Imam Asy-Syahid mengatakan:“Yang saya maksud dengan ikhlas adalah bahwa seorang al akh hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya kepada Allah swt mengharap keridhaan-Nya, tanpa memperhatikan keuntungan materi, prestise, pangkat, gelar, kemajuan atau kemunduran. Dengan itulah ia menjadi tentara akidah, bukan tentara kepentingan dan hanya mencari kemanfaatan dunia.”
“Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah din (kepada Allah).” (QS. Al An'am, 6: 162-163).
Dengan begitu seorang al akh telah memahami makna slogan abadinya: "Allah tujuan kami." Sungguh Allah Mahabesar dan bagi-Nya segala puji.
Pengertian Ikhlas
Ikhlas adalah menginginkan keridhaan Allah dengan melakukan amal dan membersihkan amal dari berbagai debu duniawi. Dengan demikian, amalnya tidak tercampuri oleh keinginan-keinginan jiwa yang bersifat sementara, seperti menginginkan keuntungan materi, kedudukan, harta, ketenaran, tempat di hati manusia, pujian dari mereka, menghindari cercaan mereka, mengikuti bisikan nafsu, atau ambisi-ambisi lainnya yang dapat dipadukan dalam satu kalimat, yaitu melakukan amal untuk selain Allah, apa pun bentuknya.
Ikhlas dengan pengertian seperti itu merupakan salah satu buah dari kesempurnaan tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh karena itu, riya' yang merupakan lawan dari ikhlas dianggap sebagai kesyirikan.
Syadad bin Aus berkata,
"Kami di masa Rasulullah saw menganggap riya' sebagai syirik kecil." (Mujma'uz Zawaid, kitabuz Zuhdi, bab: Ma Ja-ahur Riya'. 10/225).
Syarat diterimanya suatu amal
Setiap amal shaleh memiliki dua rukun yang menjadi syarat diterimanya amal tersebut oleh Allah swt, yaitu:
Pertama, keikhlasan dan lurusnya niat.
Kedua, sejalan sunah dan syariat.
Rukun pertama disebut juga keshahihan batin sedangkan rukun kedua merupakan keshahihan lahir.
Tentang rukun yang pertama, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya amal-amal itu (dinilai) dengan niatnya." (Fathul Bari: 1/15. Nomor: 1). Hadits ini merupakan tolok ukur suasana batin manusia.
Sedangkan tentang rukun kedua, Rasulullah saw bersabda:
"Barang siapa yang melakukan sesuatu amalan bukan atas perintahku, maka ia tertolak." (HR. Muslim: 3/1343. Nomor: 1718).
Allah swt menggabungkan dua rukun tersebut dalam beberapa ayat-Nya di dalam Al Quran. Antara lain Allah swt berfirman:
"Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh." (QS. Luqman, 31: 22).
Yang dimaksud menyerahkan diri kepada Allah adalah mengikhlaskan niat dan amal hanya kepada Allah, mencapai ihsan dalam melakukannya dan mengikuti Sunah Rasulullah saw dalam pelaksanaannya.
Fudhail bin 'Iyadh berkata tentang firman Allah swt: "Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,"(QS. Al Mulk, 67: :2). Yang dimaksud lafal "Ahsanu 'Amalan"adalah yang paling ikhlas dan paling tepat. Ditanyakan kepadanya, "Apa yang dimaksud paling ikhlas dan paling tepat itu wahai Abu 'Ali (nama panggilan Fudhail)?" Ia menjawab, "Sesungguhnya, suatu amal itu bila dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak tepat, maka tidak diterima (oleh Allah), dan bila dilakukan secara tepat tetapi tidak ikhlas, maka tidak diterima (oleh Allah). Amal tidak diterima sehingga dilakukan dengan ikhlas dan tepat. Yang dimaksud ikhlas adalah menjadikan amal untuk Allah, sedangkan tepat adalah sesuai dengan Sunah (Rasulullah saw)." Kemudian Fudhail membaca firman Allah swt:
"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al Kahfi, 18:110).
Dengan penjelasan di atas kita dapat mengetahui, bahwa keikhlasan niat dalam beramal tidak cukup bagi diterimanya sebuah amal, bila amal tersebut tidak sejalan dengan apa yang diajarkan oleh syariat dan dibenarkan oleh Sunah Rasulullah saw. Sebagaimana suatu amal yang telah diajarkan oleh syariat, ia tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila dilakukan dengan ikhlas dan hanya mengharapkan keridhaan Allah swt.
Beberapa indikasi keikhlasan
Keikhlasan itu memiliki beberapa indikasi dan tanda-tanda yang nampak dalam kehidupan dan perilaku pemiliknya. Juga nampak dalam pandangannya terhadap dirinya dan pandangannya terhadap orang lain. Indikasi-indikasi tersebut antara lain:
Khawatir terhadap ketenaran serta keharuman nama atas dirinya dan agamanya, terutama bila ia termasuk orang-orang yang berprestasi. Ia meyakini bahwa Allah menerima amal berdasarkan niat yang tersimpan dalam batin, tidak dengan penampilan. Ia juga meyakini, bahwa meskipun ketenaran seseorang telah tersebar ke seluruh penjuru, namun tiada seorang pun yang dapat menolongnya dari siksa Allah, bila ia tidak mengikhlaskan niat untuk-Nya.
Hal inilah yang menyebabkan para ulama salaf dan orang-orang shaleh sebelum kita takut pada fitnah ketenaran, tipuan pangkat serta keharuman nama, dan mereka juga memperingatkan murid-muridnya dari hal-hal tersebut. Imam Al Ghazali telah meriwayatkan beberapa kisah tentang hal tersebut.
Ibrahim bin Adham -rahimahullah- berkata:
“Tidak akan jujur kepada Allah orang yang mencintai ketenaran.”
Sulaim bin Hanzhalah berkata:
“Saat kami berjalan di belakang Ubai bin Ka'ab ra, tiba-tiba Umar ra melihatnya, lantas Umar mengangkat cemeti yang diarahkan kepadanya. Maka Ubai berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, apa yang hen-dak kamu lakukan?’ Umar ra menjawab, ‘Ini merupakan kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah bagi yang diikuti’.”
Kisah tersebut menggambarkan ketajaman pandangan Umar ten-tang suatu fenomena yang awalnya terlihat sederhana, namun dapat mengakibatkan terjadinya hal serius dalam diri orang-orang yang mengikuti dan dalam diri para pemimpin yang diikuti.
Al Hasan meriwayatkan, bahwa pada suatu hari Ibnu Mas'ud keluar dari rumahnya, lantas beberapa orang berjalan di belakangnya (mengikutinya). Maka ia menoleh kepada mereka seraya berkata, “Kenapa kalian mengikuti saya? Demi Allah, andai kalian mengetahui apa yang kurahasiakan, tentu tiada dua orang pun dari kalian yang mengikutiku."
Al Hasan berkata:
"Sesungguhnya, suara sendal di sekitar orang dapat menggoyahkan hati orang-orang yang bodoh."
Pada suatu hari Al Hasan keluar dari rumah, lantas diikuti oleh banyak orang. Maka ia berkata kepada mereka, “Apakah kalian mempunyai suatu keperluan? Bila tidak ada keperluan maka bukankah hal ini dapat menjadikan hati orang mukmin berbelok?”
Abu Ayyub As-Sikhtiyani keluar untuk melakukan sebuah perja lanan, lantas beberapa orang mengikuti di belakangnya. Maka ia berkata:
“Andai aku tidak mengetahui, bahwa Allah mengetahui hatiku membenci hal ini, tentu aku takut kemurkaan dari Allah swt.”
Ibnu Mas'ud berkata:
“Jadilah kalian sebagai sumber mata air ilmu, lampu-lampu (cahaya) petunjuk, yang menetap di rumah-rumah, pelita di waktu malam yang hatinya selalu baru, dan yang kusut pakaiannya. (Jadilah kalian) orang yang dikenal oleh penduduk langit, tetapi tersembunyi dari penduduk bumi.”
Fudhail bin 'Iyadh berkata,
"Bila kamu mampu menjadi orang yang tidak dikenal, maka laku kanlah. Sebab apa kerugianmu bila tidak dikenal? Apa kerugianmu bila tidak dipuji? Dan apa kerugianmu bila kamu menjadi orang yang tercela di hadapan manusia, tetapi terpuji di hadapan Allah swt?"
Riwayat-riwayat tersebut jangan sampai dipahami sebagai seruan untuk mengisolir diri, sebab orang-orang yang mengatakan atau menyampaikan riwayat-riwayat tersebut adalah tokoh-tokoh da'i yang bergaul dengan masyarakat, dan para pemandu perbaikan yang memiliki pengaruh baik dalam membimbing serta mengarahkan masyarakat. Akan tetapi secara keseluruhan wajib dipahami sebagai kewaspadaan terhadap syahwat jiwa yang tersembunyi, dan kehati-hatian terhadap pintu-pintu dan jendela-jendela yang dapat dilalui oleh syaitan menembus hati manusia.
Pada hakikatnya ketenaran itu bukan suatu hal yang tercela, sebab tiada yang lebih terkenal daripada para Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Karena itu, ketenaran yang tidak dipaksakan dan bukan didasari oleh niat ambisius, tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Imam Al Ghazali mengatakan, "(Ketenaran itu) fitnah bagi orang-orang yang lemah (keimanan), dan tidak demikian bagi orang-orang yang kuat (keimanannya)."
Orang yang ikhlas selalu menuduh dirinya teledor dalam menunaikan hak-hak Allah, dan teledor dalam melaksanakan berbagai kewa-jiban. Hatinya tidak dirasuki oleh perasaan ghurur (tertipu) dan terkagum dengan diri sendiri, bahkan ia selalu takut kalau kesalahan-kesalahannya tidak diampuni, dan kebajikan-kebajikannya tidak diterima oleh Allah swt.
Dahulu, sebagian orang shaleh menangis pilu saat sedang sakit, lantas sebagian orang yang menjenguknya bertanya, “Mengapa engkau menangis? Padahal engkau ahli puasa dan shalat malam, engkau telah berjihad, bershadaqah, berhaji, mengajarkan ilmu, dan berdzikir.” Ia menjawab, “Siapa yang dapat menjamin bahwa itu semua memperberat timbangan amal baikku, dan siapa yang menjamin bahwa amalku diterima di sisi Tuhan ku? Sementara Allah swt berfirman,
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. AlMaidah : 27).
At-Tirmidzi meriwayatkan, bahwa 'Aisyah ra isteri Nabi saw berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang ayat,
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut” (QS. Al Mu'minun, 23: 60).
'Aisyah berkata, 'Apakah mereka itu orang yang meminum khamar dan mencuri?"
Rasulullah saw menjawab, "Tidak, wahai puteri (Abu Bakar) Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bershadaqah. Tetapi, mereka takut kalau amal mereka tidak diterima (oleh Allah). Mereka itulah orang-orang yang bersegera menuju kepada berbagai kebajikan."
Orang ikhlas lebih mencintai amal yang tersembunyi daripada amal yang diliputi oleh hiruk pikuk publikasi dan gaung ketenaran.
Ia lebih mengutamakan menjadi seperti akar pohon dalam suatu jamaah; akar itulah yang menjadikan pohon tegak dan hidup, akan tetapi ia tersembunyi di dalam tanah, tidak terlihat oleh mata manusia.
Dari Umar bin Khathab ra, pada suatu hari ia keluar menuju masjid Rasulullah saw tiba-tiba ia menjumpai Mu'adz bin Jabal ra yang sedang duduk dan menangis di dekat kubur Nabi saw. Maka Umar bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”
Mu'adz menjawab, “Saya menangis karena (ingat) sesuatu yang kudengar dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya riya' (beramal karena mencari pujian manusia) yang sangat kecil itu termasuk kesyirikan. Dan sesungguhnya, barang siapa yang memusuhi wali Allah, maka berarti menantang perang dengan Allah. Sesungguhnya, Allah swt mencintai orang-orang baik, yang bertakwa, dan tersembunyi. Yaitu orang-orang yang bila tidak ada, tidak dicari, dan bila sedang hadir tidak dipanggil dan tidak dikenal. Hati mereka adalah lampu-lampu (cahaya) penerang. Mereka keluar dari malam yang gelap gulita.” (Ibnu Majah: 2/1320. Nomor: 3989).
Amalnya saat menjadi pemimpin dan saat menjadi anggota tidak berbeda, selama keduanya masih dalam rangka memberikan pelayanan pada dakwah. Hatinya tidak dirasuki penyakit suka tampil, selalu ingin di depan, dan ambisi kepemimpinan, bahkan orang yang ikhlas lebih mengutamakan menjadi anggota biasa, karena khawatir tidak dapat menunaikan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepemimpinannya. Dengan kata lain, orang ikhlas tidak menginginkan dan tidak meminta jabatan untuk dirinya, tetapi bila diberi amanah, ia menerimanya dengan penuh tanggungjawab dan memohon pertolongan kepada Allah untuk melaksanakan sebagaimana mestinya.
Rasulullah saw telah menjelaskan model manusia seperti itu dalam sebuah sabdanya,
“Berbahagialah seorang hamba yang memegang tali kudanya dijalan Allah, rambutnya acak-acakan, dan dua kakinya berdebu. Bila ia (ditugaskan) di pos penjagaan, maka ia tetap di pos penjagaan tersebut, dan bila (ditempatkan) di barisan belakang, maka ia tetap di barisan belakang tersebut....” (Fathul Bari: 6/95. Nomor: 2887).
Semoga Allah meridhai Khalid bin Walid saat ia diturunkan dari jabatannya sebagai panglima pasukan, ia tetap beramal dengan giat di bawah komando Abu Ubaidah yang menggantikannya, tanpa menggerutu dan tanpa mengomel, padahal ia adalah seorang panglima yang selalu mendapat kemenangan.
Tidak menggubris keridhaan manusia, bila di balik itu terdapat kemurkaan Allah swt. Sebab tabiat manusia sangat berbeda-beda. Demikian juga cara berpikirnya, kecenderungannya, dan tujuan-tujuannya. Karena itu, upaya untuk mendapat keridhaan mereka semua, adalah batas yang tidak mungkin dapat dicapai, dan keinginan yang tidak mungkin dapat diraih. Orang yang ikhlas tidak akan disibukkan dengan hal-hal seperti itu, karenanya ia tenang dan tenteram. Syairnya dalam berhubungan dengan Allah adalah:
Dengan-Mu ada kelezatan, meski hidup terasa pahit
Kuharapkan ridha-Mu, meski seluruh manusia marah
Kuharapkan hubunganku dengan-Mu tetap harmonis
Meski hubunganku dengan seluruh alam berantakan
Bila cinta-Mu kudapatkan, semua akan terasa ringan
Sebab, semua yang di atas tanah adalah tanah belaka
Kecintaan dan kemarahannya, pemberian dan keengganannya untuk memberi serta keridhaan dan kemurkaannya adalah karena Allah dan agamanya, bukan karena kepentingan pribadi atau kemaslahatan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidak seperti kaum munafik yang hanya mencari keuntungan pribadi. Allah swt mencela orang-orang munafiq dalam Kitab-Nya (Al Quran),
"Dan di antara mereka ada orang yang menc'elamu tentang (pembagian) zakat, jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah." (QS. At-Taubah, 9:58).
Anda dapat melihat, bahwa ada sebagian aktivis dakwah yang marah, menggerutu, lalu meninggalkan aktivitas, pergerakan, dan menjauh dari medan jihad, gara-gara ada seorang saudaranya yang mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya, melukai perasaannya, atau menjelekkan salah seorang teman dekat dan kerabatnya.
Keikhlasan tujuan menjadikan seseorang tetap teguh di jalan dakwah, dan komitmen pada orientasinya, betapa pun parahnya kesalahan orang yang berbuat salah, betapa pun parahnya kelengahan orang yang lengah atau berlebihannya orang yang melampui batas. Sebab ia beramal untuk Allah swt bukan untuk kepentingan dirinya, keluarganya, atau si fulan dan si fulanah.
Dakwah kepada Allah (Dakwah llallah) bukan hak prerogatif atau milik seseorang, melainkan milik setiap orang. Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang mukmin meninggalkan dakwah karena sikap seseorang atau karena perilaku seseorang.
Orang yang ikhlas tidak akan menjadi malas, jenuh, atau berputus asa karena panjangnya jalan yang akan dilalui, lamanya waktu memanen buah dari amal, terlambatnya keberhasilan, banyaknya beban amal, dan sulitnya berinteraksi dengan manusia yang beragam cita rasa dan kecenderungan. Sebab ia beramal tidak hanya untuk mencari keberhasilan, atau mencari kemenangan saja. Akan tetapi, ia beramal untuk mendapatkan keridhaan Allah dan karena menjalankan perintah-Nya.
Pada hari akhir nanti, Allah tidak akan menanyakan kepada manusia, ‘Kenapa kalian tidak mendapatkan kemenangan?’ Akan tetapi, Allah akan menanyakan, ‘Kenapa kalian tidak berjihad?’ Allah tidak akan menanyakan, ‘Mengapa kamu tidak berhasil?’ Tetapi, akan menanyakan, ‘Mengapa kamu tidak beramal?’
Bergembira dengan munculnya orang-orang yang berprestasi di dalam barisan dakwah, yang dapat mengibarkan bendera dakwah serta berpartisipasi dalam perjuangan. Ia memberi kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang yang berbakat untuk menggantikan posisinya, tanpa sedikitpun menghalang-halangi, tanpa ada kebencian, kedengkian, atau iri hati. Bahkan orang yang ikhlas, akan meninggalkan posisinya dengan ridha dan senang hati, bila ada orang lain yang lebih baik darinya untuk posisinya tersebut. Ia akan mempersilahkan orang tersebut untuk maju, dan ia akan mundur dengan penuh kebahagiaan dan ketaatan.
Urgensi keikhlasan bagi aktivis dakwah
Perjuangan untuk mengembalikan hegemoni Islam dan pengendalian dunia dengan akidahnya, syariatnya, akhlaknya, dan peradabannya, merupakan ibadah dan taqarrub kepada Allah swt. Oleh karena itu, keikhlasan niat dalam melaksanakan ibadah tersebut, merupakan hal paling mendasar dan syarat utama bagi keberhasilan dan diterimanya amal tersebut. Sebab niat yang tercampuri (tidak ikhlas) dapat merusak amal, mengotori jiwa, melemahkan barisan, dan menggagalkan pahala.
Karena alasan itulah, maka Imam Bukhari memulai bukunya 'Al Jami'ush Shahih' dengan hadits yang sebagian ulama menganggapnya seperempat ajaran Islam, atau sepertiganya yaitu sabda Rasulullah saw:
"Sesimgguhnya amal-amal (shaleh) itu (dinilai berdasarkan) niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin diraih, atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrah sesuai dengan yang diinginkannya." (Fathul Bari: 1/15. Hadits nomor: 1).
Telah diriwayatkan, bahwa sebab disabdakannya hadits tersebut adalah ‘Seorang laki-laki yang hijrah ke Madinah karena mengejar wanita yang dicintainya. Wanita tersebut bernama, “Ummu Qais.” Oleh karena itu, laki-laki tersebut dikenal dengan sebutan, “Muhajir Ummu Qais” (Orang yang berhijrah karena Ummu Qais). (Lihat, Jami'ul 'Ulum Wal Hikam, hal. 11).
Al akh muslim harus memeriksa relung-relung hatinya, dan meneliti hakikat tujuan serta motivasi yang ada di dalamnya. Apabila di dalamnya terdapat bagian untuk dunia atau syaitan, maka ia harus segera berjihad untuk membersihkan hatinya dari kotoran tersebut, berupaya mengikhlaskan niat untuk Allah semata, serta menadzarkan dirinya hanya untuk Allah semata. Sebagaimana yang telah diucapkan oleh isteri 'Imran,
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engaku anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shaleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Ali Imran, 3: 35).
Kata "Muharriran" yang diucapkan oleh isteri Imran dalam ayat tersebut memberikan indikasi, bahwa Allah tidak akan menerima suatu amal kecuali bila telah murni dari kesyirikan dan bebas dari penghambaan kepada selain-Nya.
Kehidupan akan terwarnai oleh kebenaran, tertaburi kebaikan, terkuasai oleh keadilan, dan bendera kemuliaan berkibar padanya, bukan oleh keberadaan orang-orang yang memperdagangkan prinsip, yaitu orang-orang yang tidak beramal kecuali untuk mencari keuntungan dunia. Juga bukan oleh keberadaan orang-orang yang mencari muka, yaitu orang-orang yang tidak beramal kecuali untuk dikagumi, dipuji, dan ditokohkan oleh orang lain. Kebenaran, kebajikan dan kemuliaan akan mendapatkan kemenangan dengan adanya orang-orang yang ikhlas, yaitu orang-orang yang meyakini prinsip, bukan memperjualbelikannya; yang mempengaruhi orang lain, bukan terpengaruh oleh orang lain; yang rela berkorban, bukan mencari keuntungan materi; serta yang siap memberi, bukan yang hanyamenerima.
Penyakit hati yang mengotori keikhlasan serta merusak niat lebih parah dan lebih membahayakan daripada penyakit fisik. Sebab penyakit hati tersebut dapat merusak pahala dan menjauhkan pemiliknya dari jalan dakwah yang benar.
Penyakit tersebut setiap saat bisa hinggap dalam diri kita, akan tetapi kita dapat melawannya dengan keimanan dan ketakwaan. Oleh karena itu, kita harus selalu sadar, waspada dan mengontrol niat kita, serta berusaha membersihkannya dari berbagai penyakit hati yang dapat mengotorinya.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Sumber: Muhammad Abdullah Al-Khatib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, "Nazhorooti fii risalah ta'alim: Konsep pemikiran gerakan ikhwan".
Jumat, 08 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar